Menjadi jurnalis profesional memerlukan proses yang tidak instan. Modal pertamanya adalah bertanya. Ya, bertanya dengan penuh rasa ingin tahu, sehingga penting bagi jurnalis selalu mendekat untuk mempertanyakan apakah memang demikian. Lalu bagaimanakah sejatinya hal tersebut terjadi.
Jurnalis pantang pula menelan mentah mentah berita “katanya dan katanya”.
Turunlah ke bawah, karena sebagai jurnalis janganlah puas dengan yang hanya ada di permukaan. Kalau tidak mau bertanya untuk menggali berita selengkap-lengkapnya, maka jurnalis akan menjadi ahli nujum, menduga-duga saja.
Hal ini diungkapkan oleh A.A. Kunto A., S.Sos. selaku Pemimpin Redaksi HarianBernas.com dalam diklat jurnalistik LINES DIY di Gedung Serbaguna PC LDII Depok, 8/11/2015. Alumni Jurusan Sosiologi FISIPOL UGM ini sudah sejak SMA meniti karir sebagai wartawan pelajar Bernas.
Mas Kunto menjelaskan pula perbedaan antara pertanyaan jurnalis dan bertanya sekedar ingin tahu. Apabila pertanyaannya memiliki tujuan, itulah jurnalis. Caranya adalah sebelum bertanya tentukan dahulu jawaban seperti apa yang diharapkan. Lalu harus fokus untuk mencari tahu jawabannya. Pada nara sumber yang hemat bicara atau merasa tertekan dalam wawancara seringkali menyampaikan jawaban sekenanya, tidak rinci, dll. Berikut ini penggalan wawancara menarik antara Mas Kunto dan beberapa orang peserta diklat jurnalistik DPW LDII DIY:
Wawancara I
“Pembicara dalam kegiatan ini siapa saja Pak?” tanya wartawan.
“Ada banyak,” jawab panitia singkat.
“Bapak bisa sebutkan siapa saja?” wartawan melanjutkan pertanyaan.
“Maaf tidak dapat saya sebutkan satu per satu.” Jawabnya ketus.
“Baik, kalau begitu mohon dua per dua saja Bapak sebutkan,” wartawan terus bertanya.
“Tidak bisa Mas,” semakin singkat jawabannya.
“Baik Bapak, hm .. kalau begitu bisakah Bapak sebutkan siapa saja yang tidak bisa disebutkan tadi,” wartawan pantang menyerah dan berusaha mencari celah bertanya sambil tersenyum.
Wawancara II
“Apa yang membuat Mas Dika terkesan dengan acara ini?” tanya wartawan.
“Ada banyak,” jawaban Dika singkat.
“Setelah sampai di rumah, masih teringat kembali mengenai hal apakah? Lalu apa sajakah perbedaannya dengan acara yang lainnya? Adakah contoh kata-kata pembicara yang berkesan itu?” wartawan terus saja bertanya dari berbagai arah sembari menimpali jawaban yang diberikan.
Wawancara III
Bagaimanakah cara mendapatkan ide dalam memulai menulis suatu berita?
Wartawan: Apakah yang sedang terlintas dalam pikiran untuk diberitakan?
Peserta: Dewi Solihah
Wartawan: Boleh diceritakan siapakah dia? Dan apakah prestasinya?
Peserta: [cerita panjang]
Wartawan: Kalau diskala antara 6-10, berapakah skalanya? Pentingkah dia bagi publik?
Peserta: Skala 9, karena dia dapat menginspirasi anak muda, bisa menggerakkan warga di sekitarnya.
Wartawan: Ada kendala pemberitaan terkait foto. Kalau berskala 9 sebaiknya fotonya seperti apakah?
Peserta: Foto saat menerima penghargaan dari Menpora.
Wartawan: Untuk mendapatkan foto itu, cara apa sajakah yang sudah ditempuh? Adakah cara lain?
Peserta: Menelepon dan BBM. Cara lain dengan mendatangi langsung.
Wartawan: Kapan itu?
Wartawan: Lalu dari mana Saudara mengetahui prestasi ini?
Peserta: dari koran yang di-share di WA group.
Wartawan: Nah, itulah salah satu sumber ide pemberitaan yakni dari group. Cermatilah interaksinya.
Diskusi IV
Bagaimanakah menulis padahal sedang tidak mood?
Wartawan: Respon pembaca seperti apakah yang Saudara harapkan?
Peserta: Terinspirasi.
Wartawan: Dalam bentuk apakah pembaca terinspirasi?
Peserta: Salah satunya dengan komentar kata-kata: “Bagus!”.
Wartawan: Saudara suka pembaca mengatakan tulisan Saudara bagus?
Peserta: Ya.
Wartawan: Nah, bagaimana bisa pembaca berkata bagus kalau kita tidak menulis. Maka menulislah. Letakkan dulu mood-nya dan mulailah menulis. Mendapatkan pencapaian tulisan terbaik juga merupakan salah satu mengatasi hilangnya mood. Motivasi seperti inilah yang harus dicari.
Motivasi internal setiap individu harus disapa terlebih dahulu sehingga reporter semakin semangat menulis.
Berbekal jam terbang tinggi di Majalah Balairung UGM, Majalah Basis, koresponden Kompas Muda, dan kolumnis Bernas, Mas Kunto juga menekankan pentingnya dampak seperti apa dari tulisan yang dibuat. Hal ini terkait dengan siapa yang akan membaca dan kebutuhan para pembaca tersebut apa saja, sehingga pesan utama tulisan dapat sampai kepada para pembaca. Semisal: Apakah pentingnya berdakwah? Apa maknanya bagi tugas besar dakwah LDII? Mengapa anak muda perlu menulis? Apakah suatu tulisan hanya ingin sekedar memberi tahu? Ataukah ingin meningkatkan ilmunya dan lebih memperluas jangkauannya?
Tulisan-tulisan hebat mampu mempengaruhi pembacanya, termasuk betapa banyaknya anak muda yang mau berkegiatan setelah membaca suatu tulisan. Semisal komentar: “Kalau begitu aku bisa ikut dhong mengajinya”.
Pada akhir sesi, Mas Kunto yang juga sebagai Kepala Kemahasiswaan dan Humas STIEBBANK membuat kejutan. “Hari ini akan ada cerita lain.
Bolehlah saya mulai hari ini menjadi bagian dari LDII.
Turut mengabarkan tentang LDII yang sesungguhnya,” ujarnya. (Pemred LINES DIY)
Mantab! Artikelnya dijelaskan dengan baik dan sangat bermanfaat.. bolehkah saya share??
Dipersilahkan 🙂